PADA 2 Mei 2022, berarti sudah lebih dari setahun lalu, Kompas.com
memberitakan seorang warga Cirebon, Jawa Barat, bernama
Ariyanto Misel
mengaku berhasil menemukan teknologi air diolah menjadi bahan bakar
kendaraan bermotor.
Teknologi temuan Ariyanto tersebut diberi nama
Nikuba, yang konon sudah mulai dilirik oleh para produsen mobil terkemuka di
Eropa.
Kasus polemik Nikuba mengingatkan saya pada kasus polemik metode “cuci
ofak” dan vaksin Nusantara yang digagas Prof. Dr. dr Terawan Agus Putranto.
Pada saat itu, IDI sepakat dalam menuduh sang mantan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia itu melakukan pelanggaran kode etik karena
berani-beraninya melakukan metode terapi dan vaksin anti-Corona yang belum
diuji demi terbukti secara “ilmiah” pada manusia, termasuk saya.
Bahkan gelar doktoral Prof. Terawan ikut diragukan keabsahannya oleh para
antipatisan sang putra terbaik Indonesia kelahiran Sosromenduran,
Gedongtengen, Yogyakarta yang ramah tamah tersebut .
Pengalaman yang mirip, meski serupa tapi tak sama, juga saya alami ketika
berani-beraninya mengemukakan hasrat ingin mempergelar wayang orang di
panggung Sydney Opera House, Australia.
Pada masa itu, hasrat saya antusias didukung oleh manajemen Sydney Opera
House. Namun diragukan justru oleh sesama warga Indonesia sendiri, dengan
dalih bahwa saya ingin mempermalukan bangsa Indonesia di forum internasional
karena wayang orang adalah seni kelas kampungan.
Maka pada 18 Desember 2018, saya buktikan bahwa wayang orang sama sekali
bukan seni kelas kampungan, namun seni kelas dunia dengan mempergelar lakon
Banjaran Gatotkaca oleh Laskar Indonesia Pusaka di panggung Sydney Opera
House.
Pagelaran itu memperoleh sambutan standing ovation lebih dari 2.000 hadirin
memadati hall utama Gedung Kesenian paling bergengsi di planet bumi masa
kini.
Seusai pergelaran, para hadirin antre panjang untuk foto bersama dengan
para seniman/seniwati wayang orang yang dipuji oleh Manajer Produksi Sydney
Opera House, Derrin Brown, sebagai satu di antara pergelaran terbaik
sepanjang sejarah Sydney Opera House.
Akibat menegaskan bahwa Gunung Padang adalah situs arkeologis, Dr. Ali
Akbar dari FIB Universitas Indonesia diundang untuk memaparkan presentasi
tentang Gunung Padang di hadapan para arkeolog dan sejarawan Vrij
Universiteit Amsterdam dan di Museum Nasional Beijing nan kolosal-gigantis
itu.
Namun di Tanah-Air-Udaranya sendiri, Ali Akbar dianggap oleh para (tidak
semua) arkeolog dan sejarawan Indonesia sebagai seorang pembuat hoax alias
omong kosong belaka.
Pada hakikatnya, segenap peristiwa penuh keraguan tersebut merupakan
indikasi bahwa sebagian (tidak semua) warga Indonesia memang terlanjur
mengidap gejala xenofilia (cinta karya orang asing), maka justru meragukan
karya sesama warga bangsa Indonesia sendiri.
copas dari https://www.kompas.com/tren/read/2023/07/05/153000865/meragukan-karya-anak-bangsa-sendiri?page=all#page2
No comments:
Post a Comment